Secara luas intereks diartikan sebagai jaringan hubungan
antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara
etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan,
susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam intereks yaitu melalui
proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara
mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang
dikerangkakan sebagai intereks tidak terbatas sebagai persamaan genre, intereks
memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan
hypogram.
Mengenai keberadaan suatu hypogram dalam interteks,
selanjunya Riffaterre (dalam Ratna,2005:222) mendifinisikan hypogram sebagai
struktur prateks, generator teks puitika. Lebih lanjut, Hutomo (dalam
Sudikan,2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide,
kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks
sastra pendahulu yang kemudian teks sastra mempengaruhinya.
Kajian intertekstual berangkat dari pemikiran bahwa kapan
pun karya tak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya,
termasuk semua kesepakan dan tradisi di masyarakat. Dalam wujudnya yang khusus
berupa teks-teks kesusastraan yang ditulis sebelumnya. Kajian
intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai
bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk
menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan,peristiwa,
plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.Secara
khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada
karya-karya sebelumnya pada karya yang
muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh
terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau
pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih
lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5 dalam Rahman dan Abdul Jalil:2004)
Menurut teori
interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman
terhadap karya-karya terdahulu. Dalam interteks, sesuai dengan hakikat
teori-teori pasca strukturalis, pembaca bukan lagi merupakan konsumen,
melainkan produsen, teks tidak dapat ditentukan secara pasti sebab merupakan
struktur dari struktur, setiap teks menunjuk kembali secara berbeda-beda kepada
lautan karya yang telah ditulis dan tanpa batas, sebagai teks jamak.
Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi
karya yang kemudian disebut
sebagai hipogram. Istilah hipogram, barangkali dapat diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau
mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan
karya yang lain. wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi,
penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan
esensi dan amanat teks sebelumnya (Teeuw, 1983: 65).
Intertekstual merupakan kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari
dan menelaah hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kacamata intertekstual, lahir
dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan
tekstual.
Menurut Kristeva (dalam Worton) Intertekstualitas merupakan sebuah
istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva. Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan
suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan,
tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap
teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu
pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponenteks yang lain
sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi
warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah
karya yang utuh.
Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan:
Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan:
Pertama, peng;”Larang adalah seorang pembaca teks sebelum
menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa
dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh.
Kedua,sebuah teks tersedia hanya
melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan
terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton,19901).
Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual
menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan
sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra,
parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5).
Selain
itu masala tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang
dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro,
1995:50), mengartikan intertektual sebagai “kitaa menulis dan membaca dalam
suatu ‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam
teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa yang
dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya.
knapa tidak di lengkapi dengan daftar pustaka kak
BalasHapuskak bisa bagi sumber-sumbernya, agar bisa kita pakai sebagai rujukan
BalasHapusIya,jika terdapat kutipan maka sebaiknya dilengkapi dengan daftar pustaka agar pembaca mengetahui sumbernya. Terima kasih.
BalasHapusDaftar pustaka itu penting untuk kelayakan dari informasi, karna daftar pustaka biasanha dijaidkan landasan kejujuran dari informasi yang tertulis
BalasHapusIya benar sekali kak kalok ada daftar pustaka itu lebih meyakinkan karena itu sangat penting dan seharusnya dilengkapi dengan unsur-unsur,langkah kerja,dan aplikasi pendekatan intertekstual itu sendiri 😁
BalasHapus