About

Blogger news

Cuteki gadgets

Rabu, 09 Mei 2012

PENGERTIAN TEORI INTERTEKSTUAL



Secara luas intereks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam intereks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai intereks tidak terbatas sebagai persamaan genre, intereks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram.
Mengenai keberadaan suatu hypogram dalam interteks, selanjunya Riffaterre (dalam Ratna,2005:222) mendifinisikan hypogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika. Lebih lanjut, Hutomo (dalam Sudikan,2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra mempengaruhinya.
Kajian intertekstual berangkat dari pemikiran bahwa kapan pun karya tak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua kesepakan dan tradisi di masyarakat. Dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesusastraan yang ditulis sebelumnya. Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan,peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5 dalam Rahman dan Abdul Jalil:2004)
Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Dalam interteks, sesuai dengan hakikat teori-teori pasca strukturalis, pembaca bukan lagi merupakan konsumen, melainkan produsen, teks tidak dapat ditentukan secara pasti sebab merupakan struktur dari struktur, setiap teks menunjuk kembali secara berbeda-beda kepada lautan karya yang telah ditulis dan tanpa batas, sebagai teks jamak.
Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram. Istilah hipogram, barangkali dapat diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain. wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks sebelumnya (Teeuw, 1983: 65).
Intertekstual merupakan kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kacamata intertekstual, lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual.
Menurut Kristeva (dalam Worton) Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva. Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponenteks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.

Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan:
Pertama, peng;”Larang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh.
Kedua,sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton,19901).

Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5).
            Selain itu masala tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 1995:50), mengartikan intertektual sebagai “kitaa menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa yang dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya.

5 komentar:

Emen mengatakan...

knapa tidak di lengkapi dengan daftar pustaka kak

Emen mengatakan...

kak bisa bagi sumber-sumbernya, agar bisa kita pakai sebagai rujukan

adhika fatiya mengatakan...

Iya,jika terdapat kutipan maka sebaiknya dilengkapi dengan daftar pustaka agar pembaca mengetahui sumbernya. Terima kasih.

Unknown mengatakan...

Daftar pustaka itu penting untuk kelayakan dari informasi, karna daftar pustaka biasanha dijaidkan landasan kejujuran dari informasi yang tertulis

Devi prativi mengatakan...

Iya benar sekali kak kalok ada daftar pustaka itu lebih meyakinkan karena itu sangat penting dan seharusnya dilengkapi dengan unsur-unsur,langkah kerja,dan aplikasi pendekatan intertekstual itu sendiri 😁

Posting Komentar

Rabu, 09 Mei 2012

PENGERTIAN TEORI INTERTEKSTUAL



Secara luas intereks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam intereks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai intereks tidak terbatas sebagai persamaan genre, intereks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram.
Mengenai keberadaan suatu hypogram dalam interteks, selanjunya Riffaterre (dalam Ratna,2005:222) mendifinisikan hypogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika. Lebih lanjut, Hutomo (dalam Sudikan,2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra mempengaruhinya.
Kajian intertekstual berangkat dari pemikiran bahwa kapan pun karya tak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua kesepakan dan tradisi di masyarakat. Dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesusastraan yang ditulis sebelumnya. Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan,peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5 dalam Rahman dan Abdul Jalil:2004)
Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Dalam interteks, sesuai dengan hakikat teori-teori pasca strukturalis, pembaca bukan lagi merupakan konsumen, melainkan produsen, teks tidak dapat ditentukan secara pasti sebab merupakan struktur dari struktur, setiap teks menunjuk kembali secara berbeda-beda kepada lautan karya yang telah ditulis dan tanpa batas, sebagai teks jamak.
Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram. Istilah hipogram, barangkali dapat diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain. wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks sebelumnya (Teeuw, 1983: 65).
Intertekstual merupakan kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kacamata intertekstual, lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual.
Menurut Kristeva (dalam Worton) Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva. Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponenteks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.

Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan:
Pertama, peng;”Larang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh.
Kedua,sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton,19901).

Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5).
            Selain itu masala tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 1995:50), mengartikan intertektual sebagai “kitaa menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa yang dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya.

5 komentar:

  1. knapa tidak di lengkapi dengan daftar pustaka kak

    BalasHapus
  2. kak bisa bagi sumber-sumbernya, agar bisa kita pakai sebagai rujukan

    BalasHapus
  3. Iya,jika terdapat kutipan maka sebaiknya dilengkapi dengan daftar pustaka agar pembaca mengetahui sumbernya. Terima kasih.

    BalasHapus
  4. Daftar pustaka itu penting untuk kelayakan dari informasi, karna daftar pustaka biasanha dijaidkan landasan kejujuran dari informasi yang tertulis

    BalasHapus
  5. Iya benar sekali kak kalok ada daftar pustaka itu lebih meyakinkan karena itu sangat penting dan seharusnya dilengkapi dengan unsur-unsur,langkah kerja,dan aplikasi pendekatan intertekstual itu sendiri 😁

    BalasHapus

indonesia!!!

Sumber : http://indonesiablogger.blogspot.com/2011/05/pasang-widget-blogger-indonesia.html#ixzz2IzlSUUlV

Template by:

Free Blog Templates