ENGKAULAH SANDARAN SEPEDAKU
Kring…kring bunyi alaram berburnyi. Ari langsung mematikan alaram yang menunjukkan pukul 05 : 00. Ari langsung bergegas mengambil handuk, mandi lalu ambil air whudu untuk sholat subuh. Setelah sholat subuh Ari mengambil baju yang paling baik menurutnya, karena hari ini adalah harinya untuk mendapatkan uang, karena jarang sekali ia mendapatkan job seperti ini. Setalah semuanya siap, lalu ia mengambil kamera yang dibeli dari hasil keringat sendiri, yaitu dengan mengikuti ayah temannya dulu, dan dari situlah sedikit demi sedikit ia mendapatkan honor dari ayah temannya yang bernama jhon alias Ijon. Di ruang makan sudah tersedia teh manis buatan ibunya. Jam sudah menunjukkan pukul 06 : 00, ia menyedu teh manis itu hanya beberapa degukkan. Lalu ia langsung pergi. Tiba-tiba ibunya keluar dari kamar tidurnya.
“ kenapa tehnya tidak dihabiskan? “ tanya
ibunya melihat anaknya tergesah-gesah memasang sepatu.
“ nanti
sajalah bu, nanti Ari terlambat , lebih cepat lebih baik. Biar besok-besok Pak
Zul senang joinan sama Ari “. Sepatu
telah siap di pasang “ bu Ari pergi dulu ya, salamualaikum “ sambil menyalami
dan mencium punggung tangan ibunya.
“
waalaikumussalam, hati-hati ya “. Dan Ari pun mengambil sepeda dan mengayuhnya.
Sepeda
melaju cepat. Tiba-tiba ada seorang nenek di senggol sepeda motor, lalu ia
terjatuh. Ari yang sedang membawa sepeda dengan kencangnya merem mendadak, dan
menyusul nenek yang terjatuh tadi.
“ dasar
manusia tidak bertanggung jawab “ marah terhadap orang yang menyenggol
nenek-nenek itu. Lalu ia memapah nene itu, dan mendudukkannya baik-baik.
“ apa nenek yang sakit ? “ tanya Ari khawatir.
Lalu nenek
menjawab “ tidak apa-apa anak muda, saya hanya shok saja”.
Pikir punya
pikir Ari tak mungkin berlama-lama dengan nenek ini
“ maaf sebelumnya nek, karena nenek tidak
apa-apa saya mohon pamit dulu, soalnya saya ada kerjaan yang mesti cepat di
selesaikan “.
“ baiklah,
nenek mengucapkan banyak terimakasih anak muda, oh iya nama kamu siapa? “.
Tanya nenek itu.
“ Ari nek
“. Jawab Ari singkat. Ari pun bergegas
mengambil sepedanya dan mengayuhnya. Di perjalanan Ari selalu melihat jam
tangannya. Di setiap kayuhannya wajah kekawatiran selalu menyilimutinya.
Akhirnya
Ari tiba di rumah pak Zul pada pukul 07 : 20 W.I.B. Ari bergegas menuju rumah
Pak Zul. Di pintu depan ia berdiri dan mengucapkan salam, Ari menemukan pak Zul
dengan seorang Wanita tengah berbincang-bincang, dan banyak kertas di hadapan
mereka. Sepertinya mereka sedang membicarakan surat menyurat yang banyak itu,
pikir Ari. Lalu pak Zul menyuruh Ari masuk ke dalam rumahnya dan mempersilahkan
duduk. Tidak lama Ari duduk b ersama mereka, perempuan itu pamit pada pak Zul
dan juga Ari. Sewaktu perempuan itu duduk di dekatnya, pandangannya tak luput
dari perempuan yang cantik itu, bahkan sampai badan gadis itu tak tampak lagi.
“ ehem “ suara pak Zul membuyarkan pandangan
Ari.
“maaf pak “
dengan wajah malu.
“ kenapa kamu cepat sekali datangnya,
pemotretan anak-anak kira-kira pada waktu meraka istirahat “ kata pak Zul pada Ari.
Dalam hati Ari berkata kenapa ia tak santai-santai saja, atau bahkan
menolong lebih kepada nenek tadi.
“ tapi tak apalah, lebih cepat lebih baik “
kata pak Zul senyum.
Pak Zul
adalah kepala sekolah SMP, ia teman dekat almarhum Ayah Ari.
“ oh iya,
saya sarankan photonya usahakan bener-bener bagus, karena ini untuk ijazah “
kata pak Zul. “ insya allah pak” jawab Ari.
” Kamu
masih memikirkan perempuan tadi ya? “ tanya pak Zul tiba-tiba.
Lalu Ari
tersipu malu, kenapa pak Zul tahu isi pikirannya. “ Aini itu guru baru pindah
ke SMP saya, dia itu guru Bahasa Indonesia baru di tempat saya “ pak Zul
menjelaskannya.
Dalam hati
Ari berkata “ ternayata nama perempuan itu Aini “.
“ jadi pukul berapa saya harus ke Sekolah pak?
“ tanya Ari mencoba mengalihkan pembicaraan karena ia malu.
“ pukul 10
. 00 W.I.B, karena anak-anak istirahatnya pukul 10.20 W.I.B “ Jawab pak Zul.
“Kalo
begitu saya pamit pak, saya ada perlu ke rumah teman saya sebentar
“ baiklah,
lagian saya harus ke kantor Dinas Pendidikan ada janji dengan kepala Dinas
pukul 08.00 W.I.B” jawab pak Zul, meraka berdua sama-sama berdiri, dan pak Zul mengantar Ari samapi ke depan
pintu rumah.
Sesampai
di kantor Ijon, kantor pos. Ari bertemu dengan Ijon sedang menyusun surat.
Mereka berbincang-bincang layaknya orang yang bersahabat. Ari melihat nama-nama
penerima surat yang terletak di meja kerja Ijon. Lalu ia menemukan nama Aini
Marlis. Lalu Ari bertanya kepada Ijon, karena ia berharap Aini yang ia baca
tadi adalah Aini yang ia temukan di rumah pak Zul tadi pagi. Ijon mengatakan
surat yang bernama Aini Marlis adalah langgananya, karena sudah dua minggu ini
ia sering mengantarkan surat untuk Aini. Lalu Ari bertanya lagi, apakah Aini
yang ia temui itu cantik. Menurut Ijon, perempuan itu cantik, tapi ia bertemu
dengan Aini hanya beberapa kali. Karena yang sering menerima surat adalah
ibunya atau neneknya, karena kata mereka Aini sedang pergi mengajar. Mendengar
kata mengajar, lalu Ari kaget. Mungkin saja perkirannya benar.
Pukul
sudah menunjukkan 10.10 W.I.B, Ari sudah sampai di SMP tempat dimana ia
melakukan pemotretan. Ia duduk-duduk di labor IPA SMP tersebut, sambil menunggu
jam istirahat. Ia melihat lingkungan SMP yang hijau oleh rumput-rumput di
halaman sekolah. Lalu Ari melihat seorang perempuan yang ia kenal yaitu, Aini.
Aini
lewat dihadapannya, dan berkata “ kamu yang ada di rumah pak Zul tadi kan? “
tanya Aini pas di depannya.
“
iya “ jawab Ari gugup.
“
oh iya nama saya Aini “ sambil menjulurkan tanganya “ dan Ari menyambut salam
Aini sembari berkata “ Ari “.
Perbincangan pun terjadi sebentar diantara
mereka. Satu kata yang tersimpan oleh Ari yaitu, alamat rumahnya. Bel
istirahatpun berbunyi, lalu mereka berpisah karena ia harus menjalankan
tugasnya begitu juga dengan Aini ia juga harus pergi karena ada janji dengan
teman di kantin sekolah.
Ke
esokan harinya, Ari bermain ke kantor Ijon. Ari bertanya kepada Ijon, adakah
surat untuk Aini hari itu. Namun sayangnya tidak ada surat untuk Aini hari itu.
Ijon temannya bertanya dalam hatinya, kenapa tiba-tiba Ari ikut campur dalam
urusan surat menyuratnya. Setiap hari Ari ke kantor pos untuk melihat surat
untuk Aini ada atau tidak. Hari ketiga ia pergi ke kantor Ijon, akhirnya ada
surat untuk Aini. Ari meminta Ijon, agar Ijon member Izin kepadanya untuk
memberikan surat itu langsung kapada Aini. Awalnya Ijon tidak setuji dengan ide
itu, namun Ari memohon kepadanya dan ia pun segan untuk menolak permintaan dari
Ari karena mereka bersahabat sejak lama, dan lagian Ari belum pernah
mengecewakan Ijon. Tapi sebelum Ijon memberikan izin kapada Ari, ia menekankan terlebih dahulu kepada Ari agar
menjaga surat itu, jika tidak maka Ijon yang akan kena marah oleh atasannya dan
bisa-bisa ia dipecat.
Ari
pergi mengantarkan surat untuk pertama kalinya kepada Aini. Ari pergi langsung
kerumahnya. Setelah Ari mengetuk pintu rumah Aini, yang keluar hanya nenek yang
sangat familiar baginya, tidak pikir lama lalu ia mengingatnya. Ternyata nenek
itu adalah nenek yang ia tolong sewaktu ia menuju rumah pak Zul. Demikian juga
dengan nenek yang lupa-lupa ingat dengan wajah Ari. Akhirnya mereka saling
mengingat. Nenek mengingat Ari begitu juga denga Ari. Perbincancangan terjadi
tak lama, ternyata nenek itu adalah neneknya Aini Marlis. Akhirnya surat itu
tak langsung ke tangan Aini, hanya pada neneknya. Empat hari kemudian datang
lagi surat untk Aini, lalu ia diberi izin oleh Ijon untuk mengantarnya. Di
perjalan menuju rumah Aini, ia selalu berdoa agar ia menemukan Aini, dan
langsung memberikannya pada Aini. Seperti biasanya ia selalu mengetuk pintu
rumah terlebih dahulu baru mengucapkan salam. Akhirnya doa Ari pun terkabul,
yang membukakan pintu adalah Aini itu sendiri. Awalnya Aini kaget, kenapa Ari
yang mengantar suratnya itu. Lalu ia bertanya kenapa Ari yang mengantarkan
surat itu. Awalnya Ari bingung mesti bicara apa, dan akhirnya ia berbohong
kepada Aini, dan mengatakan Ijon tidak sempat mengantarkannya karena ia sibuk.
Tiba-tiba nenek Aini muncul dan menyuruh Ari masuk. Katika Ari hendak menanggalkan
sandal untuk masuk rumah, tiba-tiba Aini menghentikannya, ia pun terkejut. “ ambil dulu sepeda kamu itu,
karena di sini banyak maling. Walaupun itu siang hari “ kata Aini. Lalu Ari
memasangkan sendalnya lagi, dan mengambil sepedanya di bawah pohon yang
letaknya jauh dari teras rumah. Setelah
Ari mengambil sepeda ontanya itu, lalu ia menyandarkannya pada dinding sebelah
kanan rumah Aini.
Ari
disuguhi teh manis hangat oleh Aini. Tengah minum teh, nenek bercerita kepada
Aini bahwa Ari adalah penyelamatnya waktu kecelakaan kemarin. Dan juga ia
bercerita tentang cucunya. Nenek Aini orang yang open, enak di ajak ngobrol.
Waktu sudah menunjukkan hampir sore, lalu Ari pamit pulang, dan menyalami nenek
dan pamit pada Aini.
Setiap
kali Ari mengantarkan surat untuk Aini, ia selalu menyandarkan sepedanya di
tempat biasa, yaitu di dinding sebelah kana rumah. Untuk kesekian kalinya Ari
mengantarkan surat untuk Aini. Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya,
siapa yang selalu mengirimkan surat untuknya itu.
“ dia adalah pacarku “ jawab Aini datar.
Ari
langsung lesu mendengarnya, putus harapannya untuk menjadikan Aini jadi
pendampingnya. Beberapa saat kami terdiam. Tiba-tiba Aini bicara lagi
“ tapi tak mungkin lagi rasanya jika aku harus
mempertahankannya “.
“ maksutnya? “ tanya Ari bingung.
“ mungkin
kami akan putus “ jawab Aini.
“ kenapa “
tanya Ari.
“ adiknya
suka semena-mena terhadapku, mungkin ia tidak suka terhadap hubungan kami, dan
jarak kami terlalu jauh. Aku disini sementara ia disana.Dulu kami memang sering
sama-sama, tapi keadaan tak seperti dulu lagi.
Mungkin dia akan jarang lagi mengirimiku surat dan setelah itu tak akan
pernag lagi “ jatuhlah air matanya.
Setelah
satu minggu sejak Aini bercerita tentang kekasihnya, datanglah surat untuknya.
Surat itu masih dari satu nama yang
selalu mengiriminya surat yaitu Yudha Adrya. Ari ke rumah Aini untuk
mengantarkan surat itu. Setelah sampai di rumah Aini, ternyata ia tidak ada di
rumah, ia pergi mengajar. Setelah tahu Aini tidak di rumah, Ari langsung pergi
ke SMP tempat ia mengajar. Ari menunggu Aini sampai selesai ia mengajar, lagi
pula ia tidak ada kerjaan hari itu. Setelah Aini keluar dari gerbang sekolah,
lalu ia memanggil Aini dan melambaikan tangannya. Ari menghampiri Aini, dan
memberikan surat untuknya itu, namun Aini menyambut surat itu biasa saja,
wajahnya langsung murung tidak bersemangat. Setelah Ari memberikan surat itu,
lalu ia memboncengi Aini dan mengantarkannya pulang.
Sudah
dua minggu surat untuk Aini tak pernah datang lagi, sedangkan ia ingin bertemu
dengan Aini. Ari berpikir, apa alasan yang bisa membuatnya bertemu dengan Aini.
Tidak lama ide cemerlangnyapun muncul. Minggu adalah waktu yang tepat untuk
rencana ini, pikir Ari. Pagi-pagi Ari sudah rapi, karena ingin menjalankan
rencananya.
“ kamu ada job Ri? “ tanya ibunya.
“ tidak bu, hanya saja ada yang mau Ari
potret. Potret pemandangan indahnya dipagi hari “ jawab Ari.
Sesampai di
sana, ia mengetuk rumah Aini dan mengucapkan salam. Langkah awal sepertinya
berjalan, pikir Ari, karena yang membukakan pintunya adalah Aini sendiri. Aini
pun heran kenapa Ari pagi-pagi ke rumahnya, dan hari minggu pula. Apakah Ari
mengantarkan surat, pikir Aini.
“ maaf Aini, aku mau motret-motret pemandangan
dekat sungai di sana, jadi aku boleh titip sepedaku? “ agak gugup.
“ owh, silakan “ Aini mempersilahkan Ari.
Seperti
biasanya Ari menyandarkan sepedanya di tempat biasa. Minggu selanjutnya, ia di
ajak oleh Ijon untuk pergi bersamanya.
“ besok
temani aku ke pasar pagi ya Ri “ ajak Ijon.
Ajakan Ijon membuatnya memunculkan ide baru,
agar bisa bertemu lagi denga Aini. “ baiklah, jam berapa? “ tanya Ari.
“ hmmm… kira-kira pukul 08.00 W.I.B lah, aku
jemput kamu sebelum pukul delapan. Oke! “.
“ kamu
jemput akudi rumah Aini saja “ kata Ari.
“ kenapa di sana?” tanya Ijon heran.
“ aku titip sepedaku di sana “ jawab Ari.
“ aku kan
bisa jemput kamu di rumah ibumu, lagian aku pakai motor bapakku. Kita nggak usah
repot-repot ngayuh sepeda”
“ kalau
tidak begitu aku tidak bisa berjumpa dengan Aini, Ijon “ jawab Ari terus
terang.
“ kamu ini, ada-ada saja. Dari pertama aku sudah
mengira kalau kamu jatuh hati pada Aini itu, makanya kamu itu bela-belain antar
surat sejauh itu”.
Minggu
pagi lagi-lagi Ari mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Untuk kedua kalinya
ini yang membuka pintu adalah ibunya. Setelah bertemu dengan ibunya Aini, Ari
memperkenalkan dirinya dan mengatakan bahwa ia adalah teman Aini. Di
tengah-tengah sedang berbicara dengan ibunya Aini, datang Aini, dan ibunya
langsung pamit ke belakang.
“ kamu
pemotretan lagi? “ tanya Aini.
“ tidak, aku hanya ingin pergi dengan temanku
dan aku ingin menitipkan sepedaku lagi di sini. Bolehkah Aini? “.
“ boleh
lah, kenapa tidak. Letakkan saja di tempat biasa “ jawab Aini.
Sambil menunggu Ijon Ari dan Aini asyik
berbincang-bincang.
Pada
malam hari yang sunyi. Ari berpikir, disatu sisi ia bahagia, karena pria yang
bernama Yudaha itu tidak pernah lagi mengirinya surat, itu bertanda mereka
sudah tidak ada hubungan lagi. Di sisi lain, apakah Aini mencintainya.
Sementara ia hanya tukang photo yang terkadang dapat job, terkadang tidak sama sekali. Ari
mencintai Aini, namun ia tak bisa mengungkapkannya, tapi kalaulah ia pendam
terus, lama-lama sakit juga. Benar kata orang “ cinta itu di ibaratkan kentut,
ditahan sakit dilepas malu “ pikirnya.
Keesokan
harinya, Ari memberanikan diri untuk mengambil langkah untuk pendekatan. Ia
menjemput Aini pulang mengajar. Ari menunggu di gerbang sekolah untuk kedua
kalinya. Setelah anak-anak pulang, muncul lah Aini, tanpa Ari menyadarinya,
ternyata Aini telah di sampingnya. Ari pun terkejut, melihat Ari terkejut Aini
pun ikut terkejut.
“ sejak kapan kamu berdiri di situ “ tanya Ari
heran.
“ belum lama “ jawab Aini senyum.
Setelah itu
mereka berjalan berdua menuju arah sungai, Aini memegang tas dan bukunya, dan
Ari memegang sepeda Ontanya sambil berjalan. Setelah sampai di jembatan gantung mereka hanya diam menikmati udara yang sejuk,
dan di bawah jembatan gantung terdengar suara air sungai yang mengalir.
“
maukah kamu menikah denganku Ari “ tanya Aini tiba-tiba yang sangat mengejutkannya.
Ari hanya
diam, tak tahu kata apa yang harus ia keluarkan.
“ Okta Harianto, ku tanya sekali lagi. Apakah
kamu mau menikahiku? “ tanya Aini dengan serius.
Lalu
langkah Ari terhenti, begitu uga dengan Aini, dan meraka berhadapan.
“ apakah kamu sedang bergurau? Apakah kamu
serius? “ tanya Ari gugup.
“ setiap
kali sepedamu bersandar di dinding rumahku, setiap itu pula kau sandarkan
hatimu padaku. Bukan begitu Okta Harianto? “ tanya Aini senyum.
Lalu Ari memberikan sepedanya itu pada Aini,
dan berlari sekencang-kencangnya, dan berhenti di pertengahan jembatan gantung
kemudian menghadap ke kanan jembatan.
Lalu berteriak “ Aini! Aku Okta Harianto akan
menikahimu Aini Marlis “. Dan Ari membalikkan badanya ke sebelah kiri jembatan.
Lalu berteriak lagi “Aini! Aku Okta Harianto akan menikahimu Aini Marlis “.
TAMAT
Karya
: Risanti Amelin
0 komentar:
Posting Komentar